Yun Sirno*
Wacana atau diskursus tentang negara islam tak henti-henti
menjadi topik yang menarik baik bagi praktisi politik, akademisi, pengamat, dan
tentu saja pemeluk islam yang peduli. Tentunya termasuk saya yang hobi membaca
sejarah islam dan strateginya serta selalu mengkitu kondisi politik global.
“Perang “ opini tentang perlu tidaknya negara islam itu memunculkan dua kubu.
Di satu kubu mengatakan Nabi tak pernah menyuruh atau memformalkan Islam
sebagai lembaga negara berhadapan terus dengan kubu yang mengatakan bahwa Nabi
memang tidak pernah mengucapkannya, tapi ia mempraktekkannya!
Diskursus yang kemudian sering berkembang menjadi polemik itu
kemudian seperti menyedot energi besar umat Islam terutama kaum pemikirnya. Hal
ini sering dituding turut berperan membuat dunia Islam malah semakin
terbelakang. Lihat lah saat diskursus itu terus berkembang, umat lain telah
mencapai kemewahan dan kejayaan dunianya. Gak percaya?
Tidak Berpengaruh di Dunia
Dari segi ekonomi, memang umat Islam memiliki negara-negara
kaya di Timur Tengah yang sering disebut sebagai negara petrodollar. Namun
hampir tak ada negeri muslim yang kaya karena produktifitasnya alias layak
disebut negara maju. Maka dari 50 negara kaya dunia non minyak, hampir tak ada
negeri muslim disana.
Lihat pula di sisi ilmu pengetahuan, ilmuwan-ilmuwan muslim
tidak berkontribusi besar lagi untuk kemajuan peradaban manusia sebagaimana zaman
Ibnu Sina, dan Ibnu Khaldun cs. Ini bisa dilihat dari persentasi muslim peraih
Nobel ilmu pengetahuan.
Lihat pula dalam dunia politik. Lihat contohnya di PBB.
Hampir semua perwakilan umat ada dalam meja Dewan Keamanan PBB: AS – Inggris
mewakili umat Protestan dunia, Prancis mewakili umat katolik, Rusia mewakili
umat atheis (dulu komunisme), dan China mewakili umat Budha-Konghucu. Umat
Islam tak kebagian tiket 5 negara paling berkuasa di dunia. Maka wajar
keputusan-keputusan politis dunia sering mengabaikan suara dan kondisi umat
Islam.
Memang Dewan Keamanan yang dibentuk paska Perang Dunia 2 ini
sempat dan sering dianggap tidak adil, tapi mereka tidak bergeming. Maka kemudian muncul berbagai kompromi
seperti agenda menambah jumlah. Tragisnya, kala usul penambahan itu diajukan,
yang muncul adalah nama –nama negara India, Jepang, Jerman, dan Brazil. Lucunya
masing-masing juga mewakili umat di belakangnya, seperti India (secara tidak langsung mewakili umat
Hindu), Jepang mewakili kaum Shinto, Brazil (katolik) dan Jerman (protestan).
Negara muslim tak pernah disebut.
Negara-negara diatas memang tidak dipilih secara primordial.
Tapi benar-benar dipilih karena pengaruhnya dalam hubungan internasional.
Karena pelaku politik manapun tidak akan menampik pengaruh 5 negara yang
disebut diawal, dan 4 negara tambahan tersebut. Artinya? Tak ada satupun negara
muslim yang berkatagori berpengaruh di atas muka bumi ini. Sungguh ironis!
Padahal ada 52 negara yang mayoritas penduduknya muslim diantara sekitar 200 jumlah
negara di dunia. Jumlah kita ¼, tapi kita sangat tidak dianggap. Mengapa?
Masalah Internal
Masalah internal umat islam yang seperti tidak terpecahkan
dituding menjadi salah satu faktor penyebabnya.
Apa yang harus kita lakukan?
Di tengah diskursus yang berubah menjadi polemik umat Islam diatas, kemudian muncul
model-model altrenatif yang berusaha keluar dari pusaran. Mereka tidak mendukung kedua pihak tersebut.
Turki memulainya dengan inovasi Partai Refah yang kemudian berubah menjadi
Partai Keadilan dan Pembangunan (PKP). 4
kali pemilu berhasil dimenangkan partai tersebut, partai yang tidak mau
menyebut dirinya partai islam, namun para pemerhati politik dan orang-orang
yang bergaul dengan mereka akan sangat jelas melihat bahwa mereka adalah partai
yang diisi para ustadz dan dai kelas satu. Langkah mereka adalah “melupakan”
simbol islam tapi segera berbuat dengan program-program islami universal. Maka
dalam hitungan 1 dekade saja, mimpi Bapak Sekuler Turki, Kemal Attaturk
terkubur dalam-dalam. Jilbab yang puluhan tahun jadi barang haram di negeri dua
benua tersebut, tiba-tiba masuk istana karena Presiden dan PM pilihan rakyat
memiliki istri yang berjilbab. Pejuang
Islam Turki memainkan politik smart yang mengutamakan kesejahteraan rakyat dan
harga diri bangsa. Kini Turki telah “mendeklarasikan” negara islamnya tanpa
harus menjadi negara islam. Dan secara strategi politik, langkah mereka membuat
mati kutu negara-negara Barat yang tak pernah rela kaum dai mengambil tahta
suatu negara.
Prestasi cemerlang para dai Turki yang mengelola negara
menghantarkan mereka menjadi kekuatan ekonomi terbesar ke-7 di daratan Eropa,
sementara tetangganya Yunani terengah-engah menahan kebangkutannya.
Kegemilangan Turki tentu menjadi pesona negara-negara muslim
lainnya. Mereka yang “sudah capek” dengan polemik berkepanjangan diatas menjadi
sadar bahwa jangan asal banyak omong, tapi bergeraklah, karena kita sebenarnya
bisa.
Negeri Para Mullah
Sebelum Turki sebenarnya kegemilangan negara Islam sudah
dilakukan negeri para mullah, Iran. Tanpa banyak berdebat mereka membangun
republik islam setelah menggulingkan antek Amerika yang menjabat presiden
negeri Persia tersebut, Shah Reza Pahlevi yang kemudian terkenal dengan nama
Revolusi Islam Iran. Revolusi yang kemudian berefek dengan diterapkannya hukum
islam, plus manajemen negara yang sangat islami. Hasilnya sudah kelihatan sejak
beberapa dekade yang lalu. Ketika banyak
negeri islam menggantungkan nasibnya pada Barat, Iran tampil sebagai negara
yang mandiri dan sejahtera. Terbukti kemudian mereka menjadi salah satu negara
yang tidak memiliki hutang luar negeri dan negara yang cukup disegani.
Sayangnya “prestasi” mengkilap Iran tersebut tidak cukup
menjadi inspirasi bagi negri muslim lainnya, salah satu penyebabnya adalah
kemandirian dan kemajuan Iran ternyata diikuti dengan pengucilan dan ketakutan
Barat atas mereka, termasuk islam-nya. Bagi sebagain praktisi politik islam,
ini tidak menjadi contoh yang baik bagi kredo islam sebagai rahmatal lil
alamin. Apalagi sekarang Iran tersandung kasus tuduhan nuklir. Walaupun penuh
konspirasi, jelas meniru Iran butuh determinasi tingkat tinggi. Apalagi
“ketangguhan” Iran bertahan juga di-back up kekayaan modal alam mereka terutama
minyak bumi. Nah yang ini sulit dicontoh, karena itu given.
Musim Semi Arab
Maka musim semi dunia Arab 2011 (Arab Spring) yang ditandai
dengan jatuhnya para diktator Arab di berbagai negeri, mengantarkan mereka
mencari model pengelolaan negara muslim yang ideal: modern tapi tetap memegang
nilai islam. Maka jangan heran sang perdana menteri Racip Tayyip Erdogan segera
menjadi bintang dunia. Ia pun sempat dinobatkan menjadi Man of the Year.
Mengambil inspirasi dari Turki walaupun tidak secara
mentah-mentah, dilakukan Mesir. Ini setelah Husni Mubarak, tokoh kuat penopang
kekuatan Amerika di TImur Tengah itu
akhirnya tumbah oleh gelombang dahsyat demonstrasi tak putus-putus para pemuda
Mesir selama kurang lebih dua bulan di Tahrir Square yang legendaris. Gerakan
Ikhwanul Muslimin (IM) kemudian dinilai menjadi inti utama “pemberontakan”
rakyat tersebut. Ketidakmauan Ikhwanul
Muslimin untuk mengakui bahwa merekalah dalang aksi rakyat tersebut dinilai hanyalah strategi untuk tidak memecah
belah persatuan rakyat Mesir yang anti Mubarak. Terbukti kemudian, pemilu
paling demokratis dalam sejarah Negari Para Fir’aun tersebut mengantarkan kader-kader gerakan IM
mendominasi kursi parlemen. Tak cukup, mereka juga merebut kursi Mesir-1 alias
presiden. Maka misi mereka menerapkan eksperimen inovasi pemerintahan islam
yang baru pun mulai diterapkan. Mesir mencoba mengambil strategi ekonomi Turki
dan pendekaran politik yang bebas tapi tidak terdikte. Status bertahun-tahun
sebagai kawan dekat Amerika plus Israel coba diubah Mesir menjadi kartu truf.
Sampai sejauh ini langkah Mesir cukup berhasil. Mesir tampil sebagai negara
yang disegani namun tidak dikucilkan seperti Iran.
Di sisi lain, dengan keberaniannya, mereka tak segan-segan
menyajikan solusi islam pada berbagai sendi kehidupan. Apalagi masyarakat Mesir
sangat islami plus kehadiran ribuan ulama dalam institusi Universitas Al Azhar
yang cukup mewarnai karakter politik Mesir.
Jika Revolusi Islam Iran disebut-sebut sebagai pemercik api
keberanian umat untuk bangkit. JIka revolusi ekonomi Turki sukses membuktikan
islam yang applicable dan compatible dengan dunia modern. Maka keberanian
berbagai tindakan politik Mesir yang berhadapan-hadapan dengan gembong permasalahan umat, Israel
dianggap menjadi peluit segera hadirnya mimpi umat islam : khilafah.
Lalu bagaimana dengan Indonesia?
Negeri indah di tenggara Asia ini sempat dan juga seringkali
disebut-sebut sebagai bakal pusat kebangkitan islam. Ini dimulai dengan sejarah
masuknya islam ke negeri ini dengan tanpa peperangan, tapi lewat perdagangan,
plus tipikal bangsa melayu yang begitu akomodatif dan gaul, membuat negeri ini
dikenal sebagai bangsa yang ramah. Saat wacana islam radikal, fundamentalis dan
sebagainya bertiup dari Timur Tengah, bangsa Indonesia seperti menjadi islam
yang berbeda. Apalagi masuknya unsur islam di akhir kepemimpinan Soeharto yang
terkenal sebagai orang terkuat Asia di tahun 1990-an, membuat pemerintahan
menjadi hijau royo-royo (warna simbolis islam). Bukan sekedar politis, saat itu
lah pemerintahan mengadopsi nilai-nilai islam seperti disahkannya berbagai UU
yang pro-islam, sampai pendirian bank-bank syariah yang begitu menjamur,
pencanangan remaja mesjid dan pesantren Ramadhan di era Soeharto menjadikan
islam Indonesia sebagai percontohan bahwa perjuangan menerapkan nilai-nilai islam
tidak mesti selalu berhadap-hadapan dengan penguasa.
Ini kembali ditunjukan bangsa Indonesia dengan pemilu
demokratis yang sukses paska tumbangnya Soeharto, lahirnya partai-partai islam,
plus munculnya varian partai nasionalis religious. Islam tampil begitu ringan
dan renyah di tangan bangsa Indonesia. Banyak partai (nasionalis) bahkan
memperjuangkan program yang sama dengan
partai islam. Seperti perda-perda syariat yang bermunculan di daerah
ternyata tidak dibawa oleh partai islam, tapi partai nasionalis.
Bermunculannya perda-perda syariah dan digenapkan dengan
disahkannya UU Syariat Islam (Qanun) di Propinsi Aceh menunjukkan pada dunia
bahwa proposal penegakan syariah bisa diajukan secara damai dan cerdas.
Secara ekonomi pun, Indonesia menjadi harapan dunia islam.
Efek kebangkitan ekonomi Asia Timur dan pergaulan dengan komunitas China yang
pro-ekonomi turut mengantarkan negeri ini menjadi the rising star dalam
perekonomian dunia selain Turki tadi. Ini ditunjukkan dengan masuknya duet
negeri islam ini dalam kwartet kekuatan baru ekonomi masa depan: MIST (Mexico,
Indonesia, South Africa, & Turkey), serta G-20, yaitu 20 negara berpengaruh
secara ekonomi (hanya ada 3 negeri muslim disini: Indonesia, Turki dan Arab
Saudi).
Tapi silih berganti masalah internal bangsa membuat bangsa
ini seperti lupa untuk mengejar prestasinya. Ini turut memadamkan asa dunia dan
aktifis muslim bahwa Indonesia-lah pemicu kebangkitan islam itu. Entah apakah
ini konspirasi jahat musuh-musuh islam atau memang cobaan bagi kita agar
benar-benar bangsa Indonesia menjadi bangsa yang tangguh.
Nah menurut Anda darimana bakal kebangkitan Islam itu muncul
dan negara mana yang layak jadi prototype negara muslim modern?
penulis : Direktur Sang Bintang School
Tidak ada komentar:
Posting Komentar